Ketika sedang berjalan-jalan di laman fesbuk, sebuah status dari Bu Mukti Amini Farid menarik perhatianku..
menikah dgn lelaki saleh tak otomatis istri tertular kesalehannya. tetap diperlukan upaya yg sungguh untuk tetap beramal dgn konsisten. idealnya, lebih baik dari pada saat ia sendiri, minimal sama. maka, sakinah itu bukan hanya soal rasa nyaman saat berdekatan dgn pasangan, tapi juga tentang konsistensi ibadah & pembelajaran berkelanjutan dr individu2 di dalamnya. #mikir, belajar dr keluarga Nuh as.
Selama inipun memang begitu konsep yang kupahami.
Bahwa menjadi shalih adalah pilihan.
Dan bahwa keshalihan itu harus diupayakan.
Buatku pribadi, aku masih mengupayakan itu.
Buat keluarga, kita semua harus terus saling mengingatkan untuk mencapai keshalihan.
Bahwa menjadi shalih itu tidak mudah, memang begitu...
Dan ini harus ada upaya pemaksaan yang kemudian mudah-mudahan menjadi kebiasaan yang lalu menjadi kebutuhan...
Kebutuhan untuk menjadi shalih... kebutuhan untuk dekat kepada Allah..
Lalu setelah shalih dengan diri sendiri, kita memiliki kewajiban menshalihkan keluarga.
Tidak juga cukup dengan keshalihan pribadi dan keluarga, kemampuan menshalihkan pun diperlukan. Istilah kasarnya 'nggak seru masuk surga sendirian'. Mudah-mudahan bisa masuk surga ramai-ramai (aaaamiiiiiiiiin...). Nah, upaya menshalihkan selain dari diri sendiri ini kita kenal dengan istilah mushlih. Dan menjadi mushlih yang memberi pengaruh kepada semua sisi inilah yang menjadikan kita sebagai pribadi muslim memiliki nilai lebih. Setelah menjadikan keluarga yang shalih sebagai pondasi dasar bagi keshalihan publik, kemudian bersama keluarga menjadi mushlih yang mewarnai masyarakat, kemudian negara dan seterusnya.
Lalu, bagaimana dengan masyarakat Indonesia...? Kita bisa bangga sejenak bahwa Indonesia masih negara dengan mayoritas muslim di dunia. Lalu disusul oleh India, Pakistan, dan Bangladesh.
Tapi senyum bangga itu pupus bahwa kemudian otak ini berpikir rasional tentang muslim di Indonesia yang pada kenyataannya masih jauh dari Islam...
Pengabaian sholat lima waktu, yang laki-laki maupun yang perempuan, merupakan hal yang umum. Berbeda dengan di Indonesia yang shaf sholat fardhu di masjid umum mungkin paling banyak tiga shaf, di Pakistan pada waktu sholat fardhu masjid-masjid terisi penuh dengan shaf-shaf orang yang ingin ikut sholat berjamaah. Kalaupun tidak memungkinkan sholat berjamaah di masjid, orang-orang menyempatkan untuk menggelar sajadahnya dan sholat di manapun...
Lalu bagaimana dengan penampilan fisik? Masyarakat Indonesia sangat terpengaruh dengan budaya barat yang kemudian tersebar luas melalui sinetron, film layar lebar nggak mutu, dan iklan-iklan. Tidak keren kalau tidak pakai celana jeans ketat. Tidak keren kalau tidak pakai rok di atas dengkul. Tidak keren kalau cowok tidak pakai anting. Tidak keren kalau cowok tidak six pack. Tidak keren kalau pakai kerudung tidak modis... serta tidak keren-tidak keren lainnya. Bagaimana dengan di Pakistan? Kenapa Pakistan? kenapa tidak India atau Bangladesh, tetangga Pakistan yang juga punya mayoritas penduduk muslim. Well, pakaian nasional India dan Bangladesh adalah 'saree' yang sering kita lihat di film-film India. Dengan baju atasan, perut terbuka, dan kain saree sebagai rok sampai dengan selempang depan. Sedangkan Pakistan dengan shalwar kameeznya yang terdiri dari tiga jenis yaitu dupatta (kain penutup kepala), baju atasan dan celana.
Dengan perbandingan dua jenis pakaian di atas saree dan shalwar kameez, tentunya lebih nyaman jika kita menilik pakaian tradisional Pakistan yang lebih tertutup. Walaupun pada summer ada saja yang berpakaian agak transparan.
Itu sedikit bahasan Mau Dibawa ke Mana Muslimin Indonesia? (bagian satu). InsyaaaLlah akan dilanjutkan dengan bahasan selanjutnya.
Islamabad, 11 Januari 2013 dengan tambahan 13 Juni 2013
...Merindukan Indonesia yang lebih baik...
Comments
Post a Comment